Tentang aku, kamu, dan makanan di meja kita

Rdzkday
4 min readSep 17, 2020

Aku adalah pecinta makan yang tak bisa tidur bila perut lapar, sementara kamu adalah fanatik cemilan yang lemas ketika berhadapan dengan sepiring nasi. Berbicara tentang kita, sudah banyak waktu yang dihabiskan di meja makan. Entah itu dalam rangkaian acara formal hingga momen kelaparan di tengah malam. Selalu senang rasanya melihatmu duduk di seberang, entah karena memang aku tak bisa makan sendiri atau senyum yang timbul dari cerita-cerita mu yang kian menghibur. Namun ada satu hal yang mengganjal pikiranku setelah mengikuti seminar akhir kesehatan mu tentang stunting. Bicara kesehatan, tentu erat kaitannya dengan ketercukupan gizi, sementara gizi terkait dengan makanan yang kita konsumsi. Meski banyak yang menganggap ini hal biasa, namun setelah ku baca ternyata cukup luar biasa.

Ini adalah perihal makanan sisa. Tetang bagaimana seseorang bisa begitu tega menyisakan makanannya terbuang percuma. Bukan maksudku untuk menceramahi apalagi menghakimi, tapi tau kah kamu bila menurut global hunger index, Indonesia mendapat skor sebesar 20,1 dan termasuk dalam kategori serius. Sementara International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan 22 juta atau 8,3% penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Salah satu faktor utama penyebab stunting.

Memang sih tidak semua itu disebabkan karena sikap kita yang terlanjur ogah ketika perut sudah begah. Ada dua jenis pembuangan makanan, yakni food waste dan food loss. Food waste mengacu pada makanan sisa yang muncul karena perut kita sudah begah, sementara food loss mengacu pada kondisi makanan yang sudah terlanjur tidak layak, seperti sayur yang keburu layu, ataupun kadaluarsa.

Di negara berkembang biasanya bahan makanan lebih banyak hilang saat proses produksi, sementara negara industri kehilangan sedikit saat produksi, namun banyak terbuang dalam bentuk makanan sisa. Di Indonesia sendiri hampir 13 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya. Jumlah ini sama dengan jumlah konsumsi 28 juta orang, lebih dari yang kita butuhkan untuk mencegah kelaparan. Secara individual, The Economist memperkirakan orang Indonesia dapat menghasilkan sampah makanan bahkan hingga 300 kilogram per tahun atau juara kedua setelah Saudi Arabia. Untuk itu yuk sisihin makanannya jika dirasa tidak habis. Bisa buat dilanjutin nanti atau aku coba bantu abisin deh.

Adapun harga makanan tak melulu seperti yang tertera di daftar menu. Maksudku, pangan yang kita abaikan terbuang berikut dengan seluruh sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya. Baik luas hutan yang terkonversi menjadi peternakan, bensin, listrik, gas, serta air tanah yang kian lama kian menipis. Belum lagi ditambah ongkos transportasi dan jejak karbon dari proses produksi hingga pembuangan. Gubernur tetangga saja bilang jabar krisis daging sapi. Bagaimana Jakarta kita yang rutin impor sapi dari daerah lain? Iya sih, memang tidak terbayangkan jauhnya perjalanan sepotong tenderloin dari Australia sebelum sampai di meja kita.

Agaknya hewan biarlah tetap menjadi hewan yang bebas bermain sebagaimana kita bebas memilih menu makanan. Ya tapi balik lagi, semuanya bisa diperdebatkan. Entah pemerhati sapi entah pemerhati energi dan transportasi yang benar, yang jelas aku suka ketika kamu memberitahukan adanya gaya hidup plant-base sebagai salah satu rahasia hidup sehat hingga seratusan tahun. Kalau tidak salah itu kata Dan Buetnerr ya? Dan lagi ini hanya gaya hidup. Jadi kita masih bisa makan sebebasnya ketika kita mau. Entah sebulan sekali, entah seminggu sekali, ya tergantung izin mu setelah melihat kadar kolesterol ku tentunya. Sekalian, sedikit banyak coba yuk perlahan-lahan meningkatkan kesadaran gizi dari makanan yang tersaji.

Mungkin disini aku mencoba mengajak untuk bersama lebih peduli akan kebutuhan pokok yang satu ini. Mulai dari lingkup terkecil, diri pribadi, hingga lingkup terbesar peran distribusi dan kebijakan. Dengan kesempatan akses yang lebih luas ditambah dengan kemajuan teknologi, bukan hal yang mustahil rasanya jika salah satu dari kita nantinya dapat berperan besar dalam rantai makanan dan mengakhiri banyaknya kasus stunting.

Entah aku atau kamu, entah bagaimana cara, baik mencarikan solusi distribusi, atau sekedar bertanggung jawab atas makanan yang tersaji setiap hari. Namun untuk saat ini, bagaimana jika kita mulai mengontrol makanan kita sendiri dan berbagi kelebihan yang kita miliki. Mulai dari mengambil secukupnya dan menghabiskannya sesuai kebutuhan gizi serta mengalokasikan yang berlebih untuk disumbangkan bagi sekitar. Memulai sebuah kampanye sadar gizi perihal standar minimal untuk di konsumsi serta batas atas untuk menyetop konsumsi berlebih disertai anjuran untuk berbagi. Karena selain stunting dan kekurangan gizi, ada bayang obesitas yang juga menghantui.

Penyaluran dapat dibuat terpadu seperti melalui rumah ibadah yang kerap menyediakan makanan bagi kaum duafa atau dibuat seperti jaringan kedai makanan gratis yang terbuka bagi siapa yang membutuhkan dengan memanfaatkan potensi food loss dari tempat makan disekitarnya. Sekali lagi krisis gizi bukan perihal kurangnya lahan pertanian, tapi bagaimana perlakuan bijak kita terhadap apa yang telah diproduksi. Akhir kata, semoga kita dapat bertanggung jawab atas hidangan yang tersaji di meja makan kita nanti.

Setelah dimuat di buku Antologi Gagasan Pemuda karena lolos dalam lomba 100 Gagasan Pemuda untuk Jakarta oleh Forum Indonesia Muda (FIM) Jakarta pada tanggal 12 September 2020, naskah ini mengalami sedikit revisi tata tulis tanpa mengurangi makna yang dikandungnya.

--

--